Saturday, July 24, 2010

Perbedaan

Dedikasi: S Lily

Aku terinspirasi kembali untuk mengulas beberapa cerita singkat dan menarik dari buku ‘Burung Berkicau’ tulisan almarhum pastor Anthony de Mello SJ yang telah kuulas selama seminggu di akhir bulan Mei lalu. Hal ini dikarenakan ada temanku, Lily, yang aku kirimi buku tersebut namun rupanya mendapat kesulitan dalam merenungkannya.

Adapun untuk hari ini, aku ingin mengulas mengenai cerita singkat sang pastor yang berjudul ‘The Royal Pigeon’ yang aku kutipkan di bawah ini:

Nasruddin became prime minister to the king. Once while he wandered through the palace, he saw a royal falcon.
Now Nasruddin had never seen this kind of a pigeon before. So he got out a pair of scissors and trimmed the claws, the wings and the beak of the falcon.

‘Now you look like a decent bird,’ he said. ‘Your keeper had evidently been neglecting you.’

‘You’re different so there’s something wrong with you!’


Coba kita baca beberapa kali. Apakah yang kita pikirkan bila kita membaca hal itu. Lucu sekali? Tidak masuk akal? Atau malahan akal sehat kita jadi tergelitik dan ingin tau apa pesan tersembunyi yang terdapat di dalamnya? Kurasa semua akan sependapat dengan pertanyaan yang terakhir, yakni tak dapat dipungkiri kalo kita semua punya rasa ingin tau tentang hal itu.

Padahal, bila kita mau membaca dengan teliti, pesan moral dari cerita singkat yang sekilas terkesan agak aneh itu ada di bagian kalimat yang terbawah. Yaitu, bila kamu berbeda, maka ada yang salah denganmu.

Seperti yang digambarkan di kisah itu, sang perdana menteri memotong cakar, sayap dan moncong dari burung elang itu supaya sesuai dengan bayangannya tentang seekor burung yang ‘wajar’. Jadi Nasruddin berpendapat, bila ada burung yang tidak berpenampilan seperti yang laen, sudah pasti itu adalah burung yang tidak terurus.

Kita semua di dunia ini memang diciptakan berbeda-beda, baek secara fisik seperti berbeda bila dipandang dari raut muka, warna kulit, bentuk badan, dll maupun dari segi sifat sosial, seperti budaya, adat, agama, bahasa dan semacamnya.

Dan justru itulah yang seharusnya membuat kita semua merasa senang karena kita diciptakan berbeda. Bayangkan kalo semua sama, pasti dunia ini akan terasa sangat membosankan bagi kita semua.

Semboyan orang Swiss tentunya akan menjadi menarik bagi kita, ‘unity in diversity’ yang artinya ‘persatuan dalam keberagaman’. Ya bangsa Swiss kan memang berasal dari berbagai suku bangsa. Namun mereka mampu menyatukan semuanya itu hanya dengan bantuan tiga bahasa resmi, yaitu Jerman, Perancis dan Italia, yang merupakan bahasa dari tetangga negara mereka.

Waktu aku menulis tentang ini, aku jadi teringat kisah lama dari jaman Konsili Vatican ke 2 yang dicanangkan oleh Paus Johanes XXIII. Setelah sekian lama berlalu, sejak dari Konsili Vatican yang pertama, Paus Johanes XXIII terbangun dari tempat tidurnya dan sewaktu sarapan pagi berbincang-bincang dengan sekretaris pribadinya.

‘Aku rasa, sudah saatnya untuk mengundang seluruh Uskup kita untuk kembali berkumpul di sini’, demikian ujar sri Paus kepada sekretaris negaranya, Mgr Tardini.

‘Tapi, Yang Mulia, ada sekitar 2000 Uskup saat ini yang tersebar di seluruh dunia, apakah hal itu mungkin?’, tanya sekretaris negaranya dengan segala hormat.

‘Bagi Tuhan, tidaklah ada hal yang tidak mungkin,’ tandas sri Paus.

Demikianlah terjadi. Walaupun ada banyak pertimbangan dan keberatan dari pihak Kuria (semacam dewan gereja Katholik atau semacam kabinet pemerintahan gereja Katholik Roma), namun semua 2000 Uskup dari seluruh dunia, akhirnya kembali berkumpul di Vatican guna menghadiri rapat para Uskup yang lebih dikenal dengan sebutan Konsili tersebut.

Kardinal König (yang sekarang sudah meninggal), seorang Uskup Agung dari kota Wina di Austria sempat bercerita sambil mengingat kenangan waktu itu. Dia berkata, ’tak pernah bisa kubayangkan, bahwa gereja Katholik itu begitu berwarna dan begitu indahnya, ketika aku melihat semua Uskup dari segala jenis bangsa yang ada di muka bumi ini berkumpul memenuhi undangan sri Paus datang ke Vatican’.