Menarik untuk mengamati bahwa orang di Indo sini tergolong orang yang konsumtif. Maka tidak heran, bila banyak pengamat di luar sana mengatakan, bahwa ekonomi di negera ini hanya ditopang oleh tingkat konsumsi yang tinggi. Dan negera ini adalah pasar yang besar untuk segala jenis produk, terutama produk yang mampu meningkatkan harga diri atau gengsi dari pemiliknya.
Nah bagaimana sebenarnya kita harus hidup sesuai dengan ajaran Tuhan? Aku iseng buka Alkitab ku dan menemukan di Surat Paulus kepada Titus yang kedua pasal kedua tentang ‘Kewajiban orang tua, pemuda dan hamba’
(2) Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.
(3) Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik
(4) dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya,
(5) hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang.
(6) Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal
(7) dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu,
(8) sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.
(9) Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah,
(10) jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita.
Kurasa disini semua sudah jelas dan tak perlu aku urai lagi, namun bagaimana dengan Surat Paulus Yang Pertama Kepada Timotius di pasal yang kedua ‘Mengenai sikap orang laki-laki dan perempuan dalam ibadah jemaat’?
(12) Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.
(13) Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa.
(14) Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.
(15) Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan.
Ah, kok rasanya sedikit diskrimatif terhadap perempuan tuh ayat, hehehe, kalo ada perempuan tidak dikarunia anak, apa artinya dia dikutuk dan tidak dapat diselamatkan? Hahaha.. ya itulah Alkitab, bila dimengerti seayat demi seayat bisa berbahaya.
Oke kita kembali ke topik semua, apakah kita salah bila kita menjadi kaya? Karena kan ada peringatan di dalam Surat Yakobus di pasal yang kelima tentang ‘Peringatan kepada orang kaya’
(1) Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu!
(2) Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat!
(3) Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir.
(4) Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu.
(5) Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari penyembelihan.
(6) Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.
Jadi bagaimana ini? Bole tidak kita jadi kaya atas usaha kita dan mempunyai banyak harta benda yang nantinya tidak akan kita bawa ketika kita mati?
Kurasa di sini jawabannya cukup simple, bila kita menyadari, bahwa kita hanya numpang lewat di dunia ini, katakanlah maksimal beberapa puluh taon. Dan selama itu pulalah kita bisa berbuat baek untuk sesama, dan banyak membantu sesama.
Paling tidak bila kita butuh meja tulis, ya kita bole punya meja tulis, bila kita butuh dipan untuk tidur, ya kita bole punya dipan, dan yang terpenting, kita tidak perlu mempunyai harta benda yang berlebihan.
Oke, aku tau, pasti aku di protes semua orang yang mempunyai henpon lebih dari satu. Kan katanya idealnya cukup satu saja. Memang benar, namun juga kadang kala bila kita ingat akan banyaknya kebutuhan kita di dunia ini, maka sangat penting kiranya untuk berhemat agar di kemudian hari kita tidak menyusahkan orang laen. Jadi bila mempunyai henpon lebih dari satu, atau dengan kata laen, mengambil jasa dari beberapa operator ternyata membuat hidup kita lebih hemat, maka ya itulah jalan yang terbaek yang semestinya kita tempuh.
Misalkan bila kita sakit atau semacamnya. Jadi kita harus pandai-pandai mengelola semua milik kita itu dan tidak menjadi boros. Ingat kata Confusius, ‘tengah-tengah itu sempurna.’ dan ingat akan cerita seorang Rabbi dari Polandia di bawah ini, maka hidup kita akan dapat kita ubah, menjadi kehidupan yang bahagia dalam segala kecukupannya. Walau tentunya ukuran ’cukup’ tersebut dapat berbeda dari satu orang ke orang yang laen nya’.
Semua harta kita dapat diambil dari kita dan itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Kita di dunia ini cuma mampir kok..
HOFETZ CHAIM
In the last century, a tourist from the States visited the famous Polish rabbi, Hofetz
Chaim.
He was astonished to see that the rabbi’s home was only a simple room filled with
books. The only furni-ture was a table and a bench.
“Rabbi, where is your furniture?” asked the tourist.
“Where is yours?” said Hofetz.
“Mine? But I’m passing through. I’m only a visitor here.”
“So am I.”
Saturday, May 29, 2010
Friday, May 28, 2010
Nelayan yang Santai
Acap kali kita bertanya, ngapain sih hidup di dunia ini. Mungkin ada orang yang berkata, untuk mencari kebahagiaan. Namun bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan tersebut? Dengan mempunyai banyak uang? Dengan mempunyai banyak teman? Atau bagaimana?
Memang ada peribahasa dari bahasa China yang mengatakan ‘uang bukan segala-galanya, namun dengan mempunyai uang segalanya akan menjadi mudah’. Hmm.. kapan-kapan kalo ada waktu kita harus memikirkan peribahasa itu.
Namun untuk minggu Alkitab ini, aku mau mencarinya dengan memetik beberapa ayat dari Alkitab diataranya dari Surat Yakobus kepada kedua belas suku di perantauan terutama di pasal yang pertama tentang ‘Iman dan Hikmat’
(2) Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan,
(3) sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.
(4) Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.
Nah bagaimana itu? Apakah kebahagian itu didapat dari ketekunan yang berbuah pada kesempurnaan dan keutuhan serta kecukupan rohani dan jasmani? Bole jadi kan?
Iseng aku buka kitab Pengkotbah 8 tentang ‘Pekerjaan Allah tidak dapat diselami manusia’ terutama dalam ayatnya:
(12) Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya.
(13) Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.
(14) Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. Aku berkata: "Inipun sia-sia!"
(15) Oleh sebab itu aku memuji kesukaan, karena tak ada kebahagiaan lain bagi manusia di bawah matahari, kecuali makan dan minum dan bersukaria. Itu yang menyertainya di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari.
Jadi gimana ini? Apakah kita hanya akan bahagia bila kita ‘takut akan Allah’? atau seperti di ayat ke 15 kita hanya kana bahagia di bawah matahari bila kita makan dan minum serta bersukaria?
Nah bila kita pikir lebih jauh, ternyata kebingungan kita untuk mencari kebahagiaan itu sebenarnya adalah sia-sia, karena seperti ditulis dalam pasal yang sama di ayat ke 16 dan ke 17
(16) Ketika aku memberi perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di dunia tanpa mengantuk siang malam,
(17) maka nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya.
Ya udah, pasrah aja, kita bersikap ‘menerima keadaan’ saja dan jadi bahagia. Seperti Konfusius pernah bilang, ‘tengah-tengah adalah sempurna’, maka kita harus mencari balance (keseimbangan) dalam hidup kita, cukup makan, cukup tidur, cukup bicara, cukup perhatian, cukup dalam segala hal. Karena hanya dengan cukup, maka kita bahagia, ingat juga cerita tentang pundi-pundi emas yang kubahas di blog ku ini beberapa hari lalu, si pekerja itu walaupun telah mendapatkan upah yang dobel tetap saja merasa kekurangan.
Ingin aku lanjutkan cerita itu sebenarnya, karena kalo dia terus berusaha untuk mengisi pundi ketujuhnya dengan emasnya, maka pundi itu tidak bertambah. Nah lanjutannya yang tidak diceritakan disana namun menarik untuk dipikirkan, apa yang terjadi bila dia mengambil emasnya dan menggunakannya baek untuk dirinya sendiri maupun untuk menolong sesamanya, apakah pundi itu akan tetap berisi setengahnya? Bila iya, bukankah lebih baek bila kita berbagi dari apa yang kita punya secara berlebih untuk sesama?
THE CONTENTED FISHERMAN
The industrialist was horrified to find the fisherman lying beside his boat, smoking a pipe.
“Why aren’t you out fishing?” said the industrialist.
“Because I have caught enough fish for the day.”
“Why don’t you catch some more?”
“What would I do with it?”
“Earn more money. Then you could have a motor fixed to your boat and go into
deeper waters and catch more fish. Thai would bring you money to buy nylon nets, so
more fish, more money. Soon you would have enough to buy two boats... even a fleet of
boots. Then you could be rich like me.”
“What would I do then?”
“Then you could really enjoy life.”
“What do you think I am doing now?”
Which would you rather have: a fortune or a capacity for enjoyment?
Memang ada peribahasa dari bahasa China yang mengatakan ‘uang bukan segala-galanya, namun dengan mempunyai uang segalanya akan menjadi mudah’. Hmm.. kapan-kapan kalo ada waktu kita harus memikirkan peribahasa itu.
Namun untuk minggu Alkitab ini, aku mau mencarinya dengan memetik beberapa ayat dari Alkitab diataranya dari Surat Yakobus kepada kedua belas suku di perantauan terutama di pasal yang pertama tentang ‘Iman dan Hikmat’
(2) Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan,
(3) sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.
(4) Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.
Nah bagaimana itu? Apakah kebahagian itu didapat dari ketekunan yang berbuah pada kesempurnaan dan keutuhan serta kecukupan rohani dan jasmani? Bole jadi kan?
Iseng aku buka kitab Pengkotbah 8 tentang ‘Pekerjaan Allah tidak dapat diselami manusia’ terutama dalam ayatnya:
(12) Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya.
(13) Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.
(14) Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. Aku berkata: "Inipun sia-sia!"
(15) Oleh sebab itu aku memuji kesukaan, karena tak ada kebahagiaan lain bagi manusia di bawah matahari, kecuali makan dan minum dan bersukaria. Itu yang menyertainya di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari.
Jadi gimana ini? Apakah kita hanya akan bahagia bila kita ‘takut akan Allah’? atau seperti di ayat ke 15 kita hanya kana bahagia di bawah matahari bila kita makan dan minum serta bersukaria?
Nah bila kita pikir lebih jauh, ternyata kebingungan kita untuk mencari kebahagiaan itu sebenarnya adalah sia-sia, karena seperti ditulis dalam pasal yang sama di ayat ke 16 dan ke 17
(16) Ketika aku memberi perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di dunia tanpa mengantuk siang malam,
(17) maka nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya.
Ya udah, pasrah aja, kita bersikap ‘menerima keadaan’ saja dan jadi bahagia. Seperti Konfusius pernah bilang, ‘tengah-tengah adalah sempurna’, maka kita harus mencari balance (keseimbangan) dalam hidup kita, cukup makan, cukup tidur, cukup bicara, cukup perhatian, cukup dalam segala hal. Karena hanya dengan cukup, maka kita bahagia, ingat juga cerita tentang pundi-pundi emas yang kubahas di blog ku ini beberapa hari lalu, si pekerja itu walaupun telah mendapatkan upah yang dobel tetap saja merasa kekurangan.
Ingin aku lanjutkan cerita itu sebenarnya, karena kalo dia terus berusaha untuk mengisi pundi ketujuhnya dengan emasnya, maka pundi itu tidak bertambah. Nah lanjutannya yang tidak diceritakan disana namun menarik untuk dipikirkan, apa yang terjadi bila dia mengambil emasnya dan menggunakannya baek untuk dirinya sendiri maupun untuk menolong sesamanya, apakah pundi itu akan tetap berisi setengahnya? Bila iya, bukankah lebih baek bila kita berbagi dari apa yang kita punya secara berlebih untuk sesama?
THE CONTENTED FISHERMAN
The industrialist was horrified to find the fisherman lying beside his boat, smoking a pipe.
“Why aren’t you out fishing?” said the industrialist.
“Because I have caught enough fish for the day.”
“Why don’t you catch some more?”
“What would I do with it?”
“Earn more money. Then you could have a motor fixed to your boat and go into
deeper waters and catch more fish. Thai would bring you money to buy nylon nets, so
more fish, more money. Soon you would have enough to buy two boats... even a fleet of
boots. Then you could be rich like me.”
“What would I do then?”
“Then you could really enjoy life.”
“What do you think I am doing now?”
Which would you rather have: a fortune or a capacity for enjoyment?
Thursday, May 27, 2010
Gajah dan Tikus
Wah hari ini konyol deh, aku baca lagi cerita penuh ilham dari Anthony de Mello SJ yang aku kutipkan dibawah ini. Tentunya banyak orang yang membaca cerita itu sepintas hanya akan menganggapnya sebagai humor belaka dan berpikir kisahnya tidak masuk akal.
Namun bagi yang membaca dua kali, pasti akan berpendapat si gajah nya bego juga, karena pada akhirnya kalah dengan si Tikus yang ingin memastikan kalo sang gajah tidak memakai pakean dalamnya.
Namun bila kita baca minimal tiga kali, kita akan mendapatkan ilham dari cerita ini sendiri, seperti yang dikatakan oleh penulisnya, Pastor Anthony de Mello SJ di pembukaan bukunya:
There are three ways how to read them:
1. Read a story once. Then move on to another. This manner of reading will give you entertainment.
2. Read a story twice. Reflect on it. Apply it to your life. That will give you a taste of theology. This sort of thing can be fruitfully done in a group where the members share their reflections on the story. You then have a theological circle.
3. Read the story again, after you have reflected on it. Create a silence within you and let the story reveal to you its inner depth and meaning: something beyond words and reflections. This will give you a feel for the mystical.
Or carry the story around all day and allow its fragrance, its melody to haunt you. Let it speak to your heart, not to your brain. This too could make something of a mystic out of you. It is with this mystical end in view that most of these stories were originally told.
Bila kita beneran membaca cerita seperti ini dan mau merenungkannya, mungkin kita akan menyadari, kalo tidakan ingin tau dari sang gajah itulah yang malahan membuatnya keluar dari kolam dan mencari kebenaran. Dan bila kita beranggapan bahwa Tuhan memberitakan kebenaran, maka dengan kata laen, kita harus mau bangkit keluar dari zona kenyamanan kita dan menjadi ingin tau dan mencari tau apa itu firman nya.
Aku baru saja menonton kisah ekspedisi untuk mencari Bahtera nya Nabi Nuh di atas gunung Ararat di Turki. Dan aku teringat pada kisah lama terutama dari Kitab Kejadian pasal 6 yang berbunyi
(13) Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi.
(14) Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam.
(22) Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.
Heran ya? Kok mau tuh si Nabi Nuh membuat perahu besar begitu, apa dia pasrah aja waktu diinstruksikan untuk membangunnya? Apakah hanya karena dia percaya atau juga ingin tau saja, maka dia diselamatkan?
Aku sendiri merefleksikan kisah ‘Gajah dan Tikus’ ini melalui Kitab Matius 25:1-13 tentang ‘Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh’ terutama ayat
(13) Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.
THE ELEPHANT AND THE RAT
An elephant was enjoying a dip in a Jungle pool when a rat came up to insist that he
get out.
“I won’t,” said the elephant.
“I insist you get out this minute,” said the rat.
“Why?”
“I shall tell you that only after you are out of the pool.”
“Then I won’t get out.”
But he finally lumbered out of the pool, stood in front of the rat and said, “Now then,
why did you want me to get out of the pool?”
“To check if you were wearing my swimming trunks,” said the rat.
An elephant will sooner fit into the trunks of a rat than God into our notions of him.
Namun bagi yang membaca dua kali, pasti akan berpendapat si gajah nya bego juga, karena pada akhirnya kalah dengan si Tikus yang ingin memastikan kalo sang gajah tidak memakai pakean dalamnya.
Namun bila kita baca minimal tiga kali, kita akan mendapatkan ilham dari cerita ini sendiri, seperti yang dikatakan oleh penulisnya, Pastor Anthony de Mello SJ di pembukaan bukunya:
There are three ways how to read them:
1. Read a story once. Then move on to another. This manner of reading will give you entertainment.
2. Read a story twice. Reflect on it. Apply it to your life. That will give you a taste of theology. This sort of thing can be fruitfully done in a group where the members share their reflections on the story. You then have a theological circle.
3. Read the story again, after you have reflected on it. Create a silence within you and let the story reveal to you its inner depth and meaning: something beyond words and reflections. This will give you a feel for the mystical.
Or carry the story around all day and allow its fragrance, its melody to haunt you. Let it speak to your heart, not to your brain. This too could make something of a mystic out of you. It is with this mystical end in view that most of these stories were originally told.
Bila kita beneran membaca cerita seperti ini dan mau merenungkannya, mungkin kita akan menyadari, kalo tidakan ingin tau dari sang gajah itulah yang malahan membuatnya keluar dari kolam dan mencari kebenaran. Dan bila kita beranggapan bahwa Tuhan memberitakan kebenaran, maka dengan kata laen, kita harus mau bangkit keluar dari zona kenyamanan kita dan menjadi ingin tau dan mencari tau apa itu firman nya.
Aku baru saja menonton kisah ekspedisi untuk mencari Bahtera nya Nabi Nuh di atas gunung Ararat di Turki. Dan aku teringat pada kisah lama terutama dari Kitab Kejadian pasal 6 yang berbunyi
(13) Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi.
(14) Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kaubuat berpetak-petak dan harus kaututup dengan pakal dari luar dan dari dalam.
(22) Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.
Heran ya? Kok mau tuh si Nabi Nuh membuat perahu besar begitu, apa dia pasrah aja waktu diinstruksikan untuk membangunnya? Apakah hanya karena dia percaya atau juga ingin tau saja, maka dia diselamatkan?
Aku sendiri merefleksikan kisah ‘Gajah dan Tikus’ ini melalui Kitab Matius 25:1-13 tentang ‘Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh’ terutama ayat
(13) Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.
THE ELEPHANT AND THE RAT
An elephant was enjoying a dip in a Jungle pool when a rat came up to insist that he
get out.
“I won’t,” said the elephant.
“I insist you get out this minute,” said the rat.
“Why?”
“I shall tell you that only after you are out of the pool.”
“Then I won’t get out.”
But he finally lumbered out of the pool, stood in front of the rat and said, “Now then,
why did you want me to get out of the pool?”
“To check if you were wearing my swimming trunks,” said the rat.
An elephant will sooner fit into the trunks of a rat than God into our notions of him.
Wednesday, May 26, 2010
Pundi Emas
Ceritanya itu aku sedang suka-sukanya baca bukunya Anthony de Mello SJ yang judulnya ‘The Song of the Bird’ atau dalam bahasa Indo ny ‘Burung Berkicau’. Nah malam ini aku kebetulan membaca cerita tentang ketamakan seseorang yang tidak mau menggunakan uang nya untuk kepentingan sehari-harinya, namun hanya terarah oleh nafsu untuk menabung, menabung dan menabung.
Tapi baek itu disadari atau tidak, tingkah laku demikian itu kita miliki. Sering kali kita lupa bahwa uang atau harta itu diberikan kepada kita untuk kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan kita dan bukan hanya disimpan.
Aku jadi teringat pada kisah perjalanan bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, khususnya yang diulas di kitab Keluaran 16: 16-20
(16) Beginilah perintah TUHAN: “Pungutlah itu, tiap-tiap orang menurut keperluannya; masing-masing kamu boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang, menurut jumlah jiwa.”
(17) Demikianlah diperbuat orang Israel; mereka mengumpulkan, ada yang banyak, ada yang sedikit.
(18) Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.
(19) Musa berkata kepada mereka: "Seorangpun tidak boleh meninggalkan dari padanya sampai pagi."
(20) Tetapi ada yang tidak mendengarkan Musa dan meninggalkan dari padanya sampai pagi, lalu berulat dan berbau busuk. Maka Musa menjadi marah kepada mereka.
Yah, kurasa cerita itu juga diperkuat dari cerita Yesus misalnya di Matius 6:26
(26) Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
Ya udah, kita harus belajar untuk tidak tamak, dan hidup sederhana saja, sebab kita percaya kehidupan kita sudah disiapkan oleh Tuhan dan kita tinggal menikmatinya dengan penuh rasa terima kasih.
THE SEVEN JARS OF GOLD
A barber was passing under a haunted tree when he heard a voice say, “Would you like to have the seven jars of gold?” He looked around and saw no one. But his greed was aroused, so he shouted eagerly, “Yes, I certainly would.” “Then go home at once.” said the voice. “You will find them there.”
The barber ran all the way home. Sure enough, there were the seven jars—ail full of gold, except for one that was only half-full. Now the barber could not bear the thought of having a half-filled jar. He felt a violent urge to fill it or he simply would not be happy.
So he had all the jewellery of his family melted into coins and thrown info the halffilled jar. But the jar remained as half-filled as before. This was exasperating! He saved and skimped and starved himself and his family. To no avail. No matter how much gold he put into the jar it always stayed half-filled.
One day he got the King to double his salary. So the fight to fill the jar was on again. He even took to begging. The jar devoured each piece of gold that was flung into it, but stubbornly refused to fill.
The King now noticed how starved the barber looked. “What’s wrong with you?” he asked. “You used to be so happy when your salary was smaller. Now it has been doubled and you are worn out and dejected. Can it be that you have been given the seven jars of gold?”
The barber was astonished. “Who told you this, Your Majesty?” he asked.
The King laughed. “But these are obviously the symptoms of the person to whom the ghost has given the seven jars. He once offered them to me. When I asked if the money could be spent or was merely to be hoarded he vanished without a word. That money can’t be spent. It only brings with it the compulsion to hoard. Go return it to the ghost this minute and you will be a happy man again.”
Tapi baek itu disadari atau tidak, tingkah laku demikian itu kita miliki. Sering kali kita lupa bahwa uang atau harta itu diberikan kepada kita untuk kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, untuk mencukupi kebutuhan kita dan bukan hanya disimpan.
Aku jadi teringat pada kisah perjalanan bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, khususnya yang diulas di kitab Keluaran 16: 16-20
(16) Beginilah perintah TUHAN: “Pungutlah itu, tiap-tiap orang menurut keperluannya; masing-masing kamu boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang, menurut jumlah jiwa.”
(17) Demikianlah diperbuat orang Israel; mereka mengumpulkan, ada yang banyak, ada yang sedikit.
(18) Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.
(19) Musa berkata kepada mereka: "Seorangpun tidak boleh meninggalkan dari padanya sampai pagi."
(20) Tetapi ada yang tidak mendengarkan Musa dan meninggalkan dari padanya sampai pagi, lalu berulat dan berbau busuk. Maka Musa menjadi marah kepada mereka.
Yah, kurasa cerita itu juga diperkuat dari cerita Yesus misalnya di Matius 6:26
(26) Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
Ya udah, kita harus belajar untuk tidak tamak, dan hidup sederhana saja, sebab kita percaya kehidupan kita sudah disiapkan oleh Tuhan dan kita tinggal menikmatinya dengan penuh rasa terima kasih.
THE SEVEN JARS OF GOLD
A barber was passing under a haunted tree when he heard a voice say, “Would you like to have the seven jars of gold?” He looked around and saw no one. But his greed was aroused, so he shouted eagerly, “Yes, I certainly would.” “Then go home at once.” said the voice. “You will find them there.”
The barber ran all the way home. Sure enough, there were the seven jars—ail full of gold, except for one that was only half-full. Now the barber could not bear the thought of having a half-filled jar. He felt a violent urge to fill it or he simply would not be happy.
So he had all the jewellery of his family melted into coins and thrown info the halffilled jar. But the jar remained as half-filled as before. This was exasperating! He saved and skimped and starved himself and his family. To no avail. No matter how much gold he put into the jar it always stayed half-filled.
One day he got the King to double his salary. So the fight to fill the jar was on again. He even took to begging. The jar devoured each piece of gold that was flung into it, but stubbornly refused to fill.
The King now noticed how starved the barber looked. “What’s wrong with you?” he asked. “You used to be so happy when your salary was smaller. Now it has been doubled and you are worn out and dejected. Can it be that you have been given the seven jars of gold?”
The barber was astonished. “Who told you this, Your Majesty?” he asked.
The King laughed. “But these are obviously the symptoms of the person to whom the ghost has given the seven jars. He once offered them to me. When I asked if the money could be spent or was merely to be hoarded he vanished without a word. That money can’t be spent. It only brings with it the compulsion to hoard. Go return it to the ghost this minute and you will be a happy man again.”
Tuesday, May 25, 2010
Monyet
Hari ini aku lagi malas nulis nih, tapi dapat dari postingan temanku di facebook tentang sebuah kisah dari ‘monyet dan kacang’, ini aku copy paste kemari:
Dari sebuah artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma.
Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.
Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.
Kok, bisa?
Tentu kita sudah tahu jawabnya.
Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam.
Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat.
Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !
Mungkin kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet itu.
Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri.
Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.
Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya.
Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan.
Sebenarnya kita akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua "rasa tidak enak" terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita.
Dengan begitu kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum.
Dari sebuah artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma.
Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.
Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.
Kok, bisa?
Tentu kita sudah tahu jawabnya.
Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam.
Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat.
Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !
Mungkin kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet itu.
Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri.
Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.
Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya.
Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan.
Sebenarnya kita akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua "rasa tidak enak" terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita.
Dengan begitu kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum.
Monday, May 24, 2010
Lonceng
Wah sungguh nih, gara-gara Mery cerita tentang gerejanya dan aku jadi ingat pada Romo Anthony de Mello SJ (Lahir 4 September 1931 di Bombay, India dan meninggal 2 Juni 1987 di New York), yang sewaktu aku muda sempat menginspirasi diriku untuk hidup dan menyerahkan diriku untuk menjadi salah satu pewarta Kabar Gembira.
Ya itu semua dimulai dari bukunya si Romo yang berjudul ‘Burung Berkicau’ atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan nama ‘The Song of the Bird’ terbitan taon 1984 dengan nomer International Standard Book Number (ISBN) 978-0385-19615-4 diterbitkan oleh Doubleday, NY setelah mendapatkan Imprimatur (ijin Uskup) C Gomes SJ, Uskup dari Ahmedabad pada taon 1981.
Buku itu sendiri dimulai dengan sebuah cerita tentang Lonceng-Lonceng Kuil, yang menurut pendapat banyak orang sangat diinspirasi oleh sebuah tembang lawas dari The Beatles yang berjudul ‘Till There Was You’ dari taon 1962. Tembang itu sendiri sebenarnya diciptakan oleh Meredith Willson di taon 1957.
Yup untuk jelasnya, aku copy kan artikel pertama dari buku ‘Burung Berkicau’ itu dan juga syair dari tembang ‘Till There Was You’ untuk perbandingan.
17. LONCENG-LONCENG KUIL
Sebuah kuil dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Dalam kuil itu terdapat seribu lonceng. Lonceng-lonceng yang besar, lonceng-lonceng yang kecil, semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin bertiup atau taufan menderu, semua lonceng kuil serentak berbunyi dan secara terpadu membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya terpesona.
Tetapi selama berabad-abad pulau itu tenggelam di dalam laut; demikian juga kuil bersama dengan lonceng-loncengNya.
Menurut cerita turun-temurun lonceng-lonceng itu masih terus berbunyi, tanpa henti, dan dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tergerak oleh cerita ini, seorang pemuda menempuh perjalanan sejauh beribu-ribu kilometer. Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi lonceng-lonceng itu. Berhari-hari ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana kuil itu pernah berdiri, dan mendengarkan, mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi yang didengarnya hanyalah suara gelombang laut yang memecah di tepi pantai. Ia berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi lonceng. Namun sia-sia. Suara laut rupanya memenuhi alam raya.
Ia bertahan sampai berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu lonceng dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi, apabila mendengar kata-kata mereka ... tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar bunyi lonceng-lonceng kuil itu. Mungkin juga legenda itu hanya omong kosong saja. Lebih baik pulang saja dan mengakui kegagalan, demikian pikirnya. Pada hari terakhir ia duduk di pantai pada tempat yang paling disayanginya. Ia berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.
Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.
Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.
Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya.Pandanglah saja.
Till There Was You
There were bells on a hill
But I never heard them ringing
No I never heard them at all
Till there was you
There were birds in the sky
But I never saw them winging
No I never saw them at all
Till there was you
Then there was music and wonderful roses
They tell me in sweet fragrant meadows of dawn and you
There was love all around
But I never heard it singing
No I never heard it at all
Till there was you
Ya itu semua dimulai dari bukunya si Romo yang berjudul ‘Burung Berkicau’ atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan nama ‘The Song of the Bird’ terbitan taon 1984 dengan nomer International Standard Book Number (ISBN) 978-0385-19615-4 diterbitkan oleh Doubleday, NY setelah mendapatkan Imprimatur (ijin Uskup) C Gomes SJ, Uskup dari Ahmedabad pada taon 1981.
Buku itu sendiri dimulai dengan sebuah cerita tentang Lonceng-Lonceng Kuil, yang menurut pendapat banyak orang sangat diinspirasi oleh sebuah tembang lawas dari The Beatles yang berjudul ‘Till There Was You’ dari taon 1962. Tembang itu sendiri sebenarnya diciptakan oleh Meredith Willson di taon 1957.
Yup untuk jelasnya, aku copy kan artikel pertama dari buku ‘Burung Berkicau’ itu dan juga syair dari tembang ‘Till There Was You’ untuk perbandingan.
17. LONCENG-LONCENG KUIL
Sebuah kuil dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Dalam kuil itu terdapat seribu lonceng. Lonceng-lonceng yang besar, lonceng-lonceng yang kecil, semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin bertiup atau taufan menderu, semua lonceng kuil serentak berbunyi dan secara terpadu membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya terpesona.
Tetapi selama berabad-abad pulau itu tenggelam di dalam laut; demikian juga kuil bersama dengan lonceng-loncengNya.
Menurut cerita turun-temurun lonceng-lonceng itu masih terus berbunyi, tanpa henti, dan dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tergerak oleh cerita ini, seorang pemuda menempuh perjalanan sejauh beribu-ribu kilometer. Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi lonceng-lonceng itu. Berhari-hari ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana kuil itu pernah berdiri, dan mendengarkan, mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi yang didengarnya hanyalah suara gelombang laut yang memecah di tepi pantai. Ia berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi lonceng. Namun sia-sia. Suara laut rupanya memenuhi alam raya.
Ia bertahan sampai berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu lonceng dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi, apabila mendengar kata-kata mereka ... tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar bunyi lonceng-lonceng kuil itu. Mungkin juga legenda itu hanya omong kosong saja. Lebih baik pulang saja dan mengakui kegagalan, demikian pikirnya. Pada hari terakhir ia duduk di pantai pada tempat yang paling disayanginya. Ia berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.
Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.
Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.
Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya.Pandanglah saja.
Till There Was You
There were bells on a hill
But I never heard them ringing
No I never heard them at all
Till there was you
There were birds in the sky
But I never saw them winging
No I never saw them at all
Till there was you
Then there was music and wonderful roses
They tell me in sweet fragrant meadows of dawn and you
There was love all around
But I never heard it singing
No I never heard it at all
Till there was you
Sunday, May 23, 2010
Burung Berkicau
Ya hari ini rupanya pengetauanku ditambah satu lagi oleh temanku Mery. Di ternyata adalah jemaat dari sebuah gerejanya tidak aku kenal sebelonnya. Menarik sih bila diketaui bahwa ada banyak orang berlomba-lomba mewartakan firman Tuhan, sesuai dengan pesannya dalam Alkitab di kitab Matius 28:16-20 (Perintah untuk memberitakan Injil):
(16) Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka.
(17) Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.
(18) Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.
(19) Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
(20) dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Sebenarnya aku ingin mengulas tentang keberadaan gereja tersebut, sangat sungguh berbeda dengan gereja yang laennya, terutama tidak dibedakan antara umat dan gembala (baca: pastor atau pendeta), tidak ada gembala resmi dari gereja ini, dan oleh karena itu semua orang bole membaptis orang laen yang ingin masuk ke gereja ini, juga semua bole berbicara bebas di dalam lingkungan gereja termasuk berkotbah.
Lebih menarik lagi, banyak orang yang masuk dalam komunitas ini, kemudian baru sadar, bahwa lebih banyak dibahas mengenai hidup sesuai anjuran dari Paulus, ketimbang dari Yesus sendiri. Juga bahkan doa yang diajarkan Yesus termasuk tidak atau jarang untuk didoakan. Itu yang membedakan antara gereja ini dan gereja pada umumnya.
Ya tapi aku tak mau masuk dalam polemik gereja ini dan itu, tapi aku jadi teringat pada buku ‘Burung Berkicau’ yang ditulis oleh seorang biarawan dan pastor Katholik dari ordo Serikat Jesuit yaitu Anthony de Mello SJ, yang di terbitkan di Indo oleh Yayasan Cipta Loka Caraka. Isinya terutama yang mengenai perbedaan satu gereja dan gereja laennya adalah yang aku kutip dibawah ini:
107. JESUS MENONTON PERTANDINGAN SEPAKBOLA
Jesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepakbola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajakNya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.
Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dahulu. Jesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak goal. Dan Jesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.
Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Jesus dan bertanya: 'Saudara berteriak untuk pihak yang mana?'
'Saya?' jawab Jesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu. 'Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.'
Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Jesus: 'Ateis!'
Sewaktu pulang, Jesus kami beritahu tentang situasi agama di dunia dewasa ini. 'Orang-orang beragama itu aneh, Tuhan,' kata kami. 'Mereka selalu mengira, bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.'
Jesus mengangguk setuju. 'Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,' katanya. 'Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.'
'Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kataMu,' kata salah seorang di antara kami dengan was-was. 'Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.' 'Ya --dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,' kata Jesus sambil tersenyum kecewa.
(16) Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka.
(17) Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu.
(18) Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.
(19) Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
(20) dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Sebenarnya aku ingin mengulas tentang keberadaan gereja tersebut, sangat sungguh berbeda dengan gereja yang laennya, terutama tidak dibedakan antara umat dan gembala (baca: pastor atau pendeta), tidak ada gembala resmi dari gereja ini, dan oleh karena itu semua orang bole membaptis orang laen yang ingin masuk ke gereja ini, juga semua bole berbicara bebas di dalam lingkungan gereja termasuk berkotbah.
Lebih menarik lagi, banyak orang yang masuk dalam komunitas ini, kemudian baru sadar, bahwa lebih banyak dibahas mengenai hidup sesuai anjuran dari Paulus, ketimbang dari Yesus sendiri. Juga bahkan doa yang diajarkan Yesus termasuk tidak atau jarang untuk didoakan. Itu yang membedakan antara gereja ini dan gereja pada umumnya.
Ya tapi aku tak mau masuk dalam polemik gereja ini dan itu, tapi aku jadi teringat pada buku ‘Burung Berkicau’ yang ditulis oleh seorang biarawan dan pastor Katholik dari ordo Serikat Jesuit yaitu Anthony de Mello SJ, yang di terbitkan di Indo oleh Yayasan Cipta Loka Caraka. Isinya terutama yang mengenai perbedaan satu gereja dan gereja laennya adalah yang aku kutip dibawah ini:
107. JESUS MENONTON PERTANDINGAN SEPAKBOLA
Jesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepakbola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajakNya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.
Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dahulu. Jesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak goal. Dan Jesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.
Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Jesus dan bertanya: 'Saudara berteriak untuk pihak yang mana?'
'Saya?' jawab Jesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu. 'Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.'
Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Jesus: 'Ateis!'
Sewaktu pulang, Jesus kami beritahu tentang situasi agama di dunia dewasa ini. 'Orang-orang beragama itu aneh, Tuhan,' kata kami. 'Mereka selalu mengira, bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.'
Jesus mengangguk setuju. 'Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,' katanya. 'Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.'
'Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kataMu,' kata salah seorang di antara kami dengan was-was. 'Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.' 'Ya --dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,' kata Jesus sambil tersenyum kecewa.
Subscribe to:
Posts (Atom)