Televisi memang telah menjadi bagian dari kehidupan kita, baek disadari atau tidak. Bagiku sendiri sejak dari awal mulanya, televisi sudah menjadi bagian wajib. Bagaimana tidak, kan dulu itu sewaktu aku masi mungil setiap sore pasti nongkrong di depan pesawat televisi hitam putih yang bentuknya seperti lemari.
Biasanya acara televisi dibuka dengan didengungkannya lagu kebangsaan Indo dan dimulai dengan sambutan dan film cerita anak-anak dan cartoon. Aku yang ingat itu dulu ada scooby doo, batman, superman dan ghost busters.
Lama kelamaan ada film nya Lima Sekawan yang diangkat dari kisah anak-anaknya Enyd Blyton. Tapi aku ingat seri ini dulu selalu di putar sebelon magrib pada hari sabtu dan itu adalah jam ku untuk ke gereja. Alhasil aku tidak pernah menonton satupun kisahnya. Sayang sih sebenarnya.
Juga biasanya sore hari ada acara ‘Gemar Menggambar’ bersama pak Tino Sidin. Menggambar itu mudah, dan merupakan perpaduan dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung, begitu ujarnya selalu.
Tak banyak orang yang tau kalo Pak Tino Sidin yang meninggal pada taon 1995 di usianya yang ke 70 ini dulunya adalah Polisi Tentara Divisi Gajah Dua Tebingtinggi sewaktu perang kemerdekaan. Dan antara tahun 1946 hingga 1949 dia bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17 Yogyakarta guna mempertahankan kemerdekaan RI.
Pak Tino Sidin ini terkenal dengan kuncir, cangklong dan baret hitamnya yang konon kabarnya berjumlah 10 biji, dan salah satunya adalah pemberian Presiden Soeharto, dan satunya lagi ada kado dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef. Dan tentu saja, pujian yang selalu dilontarkannya ke anak-anak. ‘Bagus!’ seru lulusan Akademi Seni Rupa Yogyakarta ini bila ingin memberi semangat.
Lalu hari minggu siang itu biasa ada film boneka si Unyil yang mendapatkan banyak penghargaan di Asia sebagai film pendidikan anak-anak. Ya setara dengan acara ‘Die Sendung mit der Maus’ (siaran dengan tikus) yang terkenal di Jerman sebagai film pendidikannya anak-anak.
Juga biasa ada film cerita akhir pekan, yang awal mulanya banyak dikisahkan film dari jaman perang dunia kedua. Wah bagus deh acara-acara seperti itu. Selalu menjadi favoritku. Juga ada film ‘Rumah Masa Depan’ di taon 1984 yang dibintangi oleh Wolly Sutinah sebagai Nenek, Septian Dwi Cahyo sebagai Bayu, Deddy Sutomo sebagai Pak Sukri, S. Bono sebagai Pak Darman, Aminah Cendrakasih sebagai Bu Sukri dan Alwi A.S. sebagai Pak Lurah.
Tentu jangan bingung, aku tidak hafal siapa pemerannya. Secanggih itu otakku ya tidak, aku ambil datanya dari Open Movie Database yang dengan mudah dapat di akses dari internet.
Rumah Masa Depan ini mengambil ide nya dari serian ‘Little House on the Prairie‘. Serian ini difilmkan di US antara taon 1974 sampai 1982 dan diangkat dari buku kisah masa kecil dari Laura Ingalls Wilder yang meninggal taon 1957, tiga hari setelah dia berulang taon ke 90.
Begitu luar biasanya variatifnya kisah kehidupan dari keluarga Laura Ingalls di sebuah pertanian di Minnesotta antara taon 1870 dan 1880 ini, sehingga membuat buku serian ini diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.
Namun semua itu tentu tidak lepas dari arahan Rose Wilder Lane, anak pertama pasangan Laura Ingalls Wilder dan Almanzo Wilder dan anak satu-satunya yang mampu bertahan hidup sampai remaja. Hal ini dikarenakan keluarga mereka dilanda berbagai macam mala petaka, seperti kegagalan panen, penyakit dan kesulitan ekonomi yang menahun. Rose yang kemudian mengikuti jejak ibunya menjadi jurnalis dan penulis novel ini meninggal di taon 1968 di usianya yang ke 82 taon.
Nah siapa yang tidak ingat pada serian ini. Dan kalo ingat tentunya ingat pada Michael Landon yang berperan sebagai Charles Phillip Ingalls, ayah dari Laura yang diperankan oleh Melissa Gilbert. Melissa Gilbert berperan di dalam 190 episode dari total 203 episode dari serian ini. Nah tentu, kan dia bintang utamanya.
Seperempat abad kemudian, apa jadinya televisi kita? Bila dihitung jumlah pemancarnya, tentunya sekarang kita punya jauh lebih banyak saluran yang bisa kita pilih. Bila dibandingkan dengan masa lalu, dimana hanya ada dua pilihan, nonton TVRI atau matikan televisi.
Nah kalo ditinjau dari acaranya, sudah banyak berubah. Aku sudah tidak melihat lagi ada acara untuk anak-anak. Sayang sekali sebenarnya. Lantas darimana anak-anak masa kini dapat hiburannya? Dari play station? Dari computer games atau dari mana? Aku kurang jelas. Tapi yang jelas acara televisi di Indo rupanya lebih banyak ditujukan untuk dikonsumsi para remaja dan semua orang dewasa.
Kalo ditinjau dari alatnya, dahulu jamanku mengenal pesawat televisi, itu masi yang hitam putih. Kemudian makin canggih karena keluar warnanya dan di sebut bukan Color TV namun di sini disebut orang ‘tipi kolor’. Alhasil ada lawakan dari srimulat yang masi kuingat di benakku, dimana Asmuni dengan gokilnya meletakkan celana kolornya di atas sebuah televisi hitam putih dan bersikukuh itu adalah ‘tipi kolor’.
Bila kita liat sekarang, di toko-toko elektronik tidak hanya tersedia pesawat televisi bertabung biasa seperti yang kita kenal dahulu. Namun sudah dalam bentuk pipih yang disebut Plasma TV atau LCD (liquid crystal display) TV.
Tapi tidak banyak orang yang tau kalo pesawat TV dalam bentuk tabung itu usianya (lifetime nya) akan jauh lebih lama dibandingkan dengan pesawat TV berjenis layar datar. Hal ini tentunya sama dengan monitor computer. Hanya saja, pesawat TV berjenis tabung biasanya lebih boros dalam penggunaan listrik nya dan lebih sensitif terhadap keberadaan medan magnet di sekitarnya.
Tanpa kita sadari istilah TV sebagai Television sendiri sudah berusia 110 taon. Istilah Televisi ini pertama kali dicetuskan oleh Constatin Perskyl dari Rusia pada acara International Congress of Electricity yang pertama dalam Pameran Teknologi Dunia di Paris pada taon 1900. Sementara televisi berwarna sudah berusia 70 taon di 2010 ini.
Pada taon 1968 layar LCD pertama kali diperkenalkan George Heilmeier dari lembaga RCA (Radio Corporation of America yang merupakan perusahaan elektronik yang eksis dari tahun 1919 hingga 1986. Merek dagang RCA kini dimiliki oleh Thomson SA. dan Sony BMG Music Entertainment) dan disusul oleh Larry Weber dari Universitas Illionis mulai merancang layar plasma berwarna pada taon 1975.
Rupanya dunia pertelevisian sudah banyak berubah memasuki abad ke 21. Hal ini sejalan dengan Laura Ingalls Wilder yang berkata, bahwa dirinya menulis kisah ‘Little House on the Prairie‘ dengan tujuan supaya generasi muda mengetahui, bahwa kehidupan banyak berubah menjelang masuk ke abad ke 20.