Tuesday, March 30, 2010

Apa Kata Dunia

Akhir-akhir ini para kuli tinta lagi gembira, pasalnya setelah kasus reptil, dagang sapi, akhirnya timbul kasus baru, yaitu peniup peluit yang disusul dengan star wars.

Ya jelas kalo tidak ada kasus, sepi tuh acara televisi, paling isinya kasus nangis-nangis, atau bentak-bentak orang, atau cerita tentang anak muda yang hobinya melanggar aturan lalu lintas atau tata krama. Nah iyalah, semua juga tau.

Aku sendiri tidak keberatan kalo temanya diganti, kalo hanya monoton pasti deh bosan dan hidup ini tidak akan bervariasi. Tapi dari semua kasus yang ada akhir-akhir ini, hanya dua kata yang penting, yaitu uang dan hukum. Uang dan hukum? Ya uang dan hukum, karena semua masalah itu menyangkut masalah uang yang digunakan tidak dengan tepat, dan semua dengan dalih ‘sudah sesuai dengan hukum yang berlaku’.

Tapi ya begitulah negara ini. Mungkin juga karena mereka ingat pepatah yang sangat populer di Jerman ‘Regeln sind dazu da, um gebrochen zu werden’ atau dalam bahasa Indo nya, ‘peraturan itu dibuat untuk dilanggar’. Jelas, kalo tak ada peraturan, apa yang akan dilanggar?

Aku jadi teringat pada Murray Rothbard yang sering mengkritik masalah pajak. Muray berkata ‘The State is the only legal institution in society that acquires its revenue by the use of coercion, by using enough violence and threat of violence on its victims to ensure their paying the desired tribute. The State benefits itself at the expense of its robbed victims. The State is, therefore, a centralized, regularized organization of theft. Its payments extracted by coercion are called "taxation" instead of tribute, but their nature is the same.’

Sungguh suatu bentuk penggambaran yang sederhana tentang apa itu pajak. Tentunya kita akan sangat maklum bila kita kenal siapa itu Murray. Murray yang meninggal pada awal taon 1995 pada usianya yang ke 69 adalah seorang intelektual, individualis, autor dan ekonom dari Amerika yang mendefinisikan modern libertarianism dan mempopulerkan istilah ‘anarcho-capitalism’.

Tapi Murray tidaklah salah, apabila dia mengatakan kalo pemerintah sebenarnya adalah perampok. Karena bila kita kaji lebih jauh, memang benar, pajak itu yang menentukan adalah negara dan penggunaannya pun ditentukan negara. Bahkan kita sebagai warga negara biasa dituntut oleh negara untuk bayar pajak. Suka tidak suka kita harus bayar pajak, tidak peduli orang miskin ataupun kaya. Liat saja di setiap barang yang kita konsumsi atau beli, itu ada beban pajak pertambahan nilainya.

Kalo mau gratis yang tanam pohon sendiri, tapi sebentar, mau tanam dimana? Di sebidang tanah? Nah kan ada pajak tanah nya juga? Bahkan buang air kecil maupun besarpun tanpa sadar kita bayar pajak. Makanya tidak heran bila di dunia ini ada dua hal yang ingin dihindari semua orang, kematian dan pajak.

Bahkan setelah kita matipun, kita harus bayar pajak. Tuh bayar biaya kremasi atau bayar harga tanah untuk pemakamannya. Sungguh ironis.

Apa yang terjadi bila kita tidak mau bayar pajak? Tentunya kita bisa diperkarakan dan diseret ke pengadilan yang hakimnya biasanya hakim tunggal dan itu adalah pensiunan pegawai pajak juga. Wow, hebatnya negara ini. Tapi tunggu dulu, itu bukan hanya terjadi di negara ini, tapi di semua negara.

Dan lebih hebatnya, sampai-sampai kebanyakan orang yang awal mulanya malas bayar pajak, kini menyadari bahwa hukuman berat menunggu nya bila dia tidak menyerahkan sebagian dari kepunyaannya ke pemerintah. Apalagi kalo tidak begitu, pasti dikatai orang laen, ‘apa kata dunia?’

Ada slogan dari direktorat jenderal pajak yang menarik, ‘bayar pajak dan awasi penggunaanya’. Memang akhir-akhir ini setelah ada kasus yang dikuak oleh si peniup terompet endut itu, slogan itu bertambah dengan ‘dan awasi aparatnya’. Namun untuk sementara kita telaah saja slogan dasarnya dulu.

Bayar pajak, ya semua sudah bayar pajak. Awasi penggunaannya? Untuk apa negara ini menarik pajak? Untuk beli mobil mewah untuk pejabat? Semestinya hal seperti itu harus dimintakan pendapat wakil rakyat, di Senayan sana, namun apa yang terjadi kan mengejutkan kita semua.

Contoh kedua, untuk bayar pegawai pajak dengan gaji berlimpah-limpah dan memungkinkan mereka juga menarik pungutan liar? Nah iya, semua juga tau, kalo pegawai pajak itu biasanya mengkalkulasi pajak kita dengan nilai yang luar biasa besar, namun setelah itu kita dibujuk untuk mengajukan keberatan dan menerima bantuan dari si calo. Dan dari sana itu si calo menjadi kaya raya.

Tapi itu kan praktek yang lazim dan masi berlangsung di semua kantor pajak di seluruh tanah air. Siapa yang salah? Si calo yang melebih-lebihkan sewaktu kalkulasi, atau atasannya yang memperbolekan hal tersebut terjadi? Siapa atasan tertinggi dari mereka? Kita sudah tau, karena orang itu suda kena kasus yang laen dan dinyatakan bersalah, namun masi juga belon tau malu karena masi juga dilindungi oleh atasannya lagi.

Tapi budaya ini kita sudah kenal, karena tentunya kita tau, kalo pegawai kementerian keuangan biasanya adalah lulusan STAN (sekolah tinggi akuntansi negara) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘Setelah Tamat Aku Nodong’. Jadi ya maklum saja.

Pajak mustinya digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Tapi liat saja ke kanan dan ke kiri, masi banyak orang melarat dan kekurangan. Bukannya bunyi pasal ke 34 di bab ke XIV tentang ‘Kesedyahteraan Sosial’ dalam Undang-undang Dasar 45 dan Amandemen nya (yang baru malam ini ku donlot dari situsnya Kementerian Hukum dan HAM) berbunyi ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeliahara oleh Negara’?

Rupanya negara ini memang tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk mensejahterakan rakyatnya. Bila situasi dalam negeri nya belon bisa di urus, terus gimana masa depannya? Seperti kata orang, ‘jika beruntung, kita cukup harus menunggu satu generasi lagi untuk dapat berubah!’.

Makanya aku juga tidak heran ketika mengetauhi kalo training terpopuler untuk pegawai negeri itu adalah training akuntansi. Mengapa? Karena pegawai negeri itu biasanya termotivasi untuk belajar akutansi adalah agar tidak ketahuan jika terjadi penyalahgunaan dana. Sungguh motivasi yang hebat!

Kalo kita tau hal itu, apakah kita masi mau bayar pajak? Ingat pajak di negara ini diatur progresif, sesuai dengan pendapatan. Makin besar pendapatan, makin besar pula pajaknya, namun biar bagaimanapun juga, pembayar pajak terbesar tetaplah orang kecil.

Bila ingin tau gimana tingkatan pajak nya, ini aku kasi bocoran dikit. Sampai dengan 15,84 juta setaon, kita bebas, pajak. Antara 15,84 juta dan 50 juta pajak yang dikenakan adalah 5 persen. Diatasnya sampai dengan 250 juta setaon adalah 15 persen, dan disusul 25 persen untuk penghasilan sampai dengan setengah milyar. Setelahnya hanya dikenai 30 persen. Ini sangat murah untuk negara ini, karena di luar sana, ada yang pajaknya sampai dengan 55 persen untuk orang super kaya.

Apakah kita harus bayar pajak? Ya, mutlak jawabannya, terutama bila kita tidak mau masuk penjara. Tetapi apa yang kita bisa perbuat, bila kita ingin mengawasi penggunaannya? Tidak ada, bukan? Ya itulah, negara adalah perampok seperti kata Murray.. apa kata dunia?