Malam ini aku tidurnya juga terlambat. Sampai si satpam memukul kentongannya dua kali pertanda pukul dua pagi, aku masi duduk di depan computerku dan berpikir. Yah sebenarnya bukan berpikir sih, tapi melamun.
Pasalnya gini, tadi sebelonnya aku keluar sebentar untuk doa malam. Karena sejak pukul sebelas malam di daerahku ini turun hujan, sewaktu aku keluar rumah, terasa bukan lagi sejuk namun rada lembab. Angin bertiup relatif keras sewaktu aku keluar tadi. Bahkan rintik air hujan pun masi jatuh membasahi kepalaku, tapi aku tidak tau apakah tetes air itu berasal dari awan di langit atau dari daun pepohonan yang terkibas ditiup angin.
Nah melihat dedaunan yang bergerak-gerak ditiup angin tersebut, mengingatkanku pada sebuah lagu kenangan dari jaman perjuangan yang diciptakan oleh A.J Sudjasman. Sayangnya hasil bertanya-tanya pada Oom ku (oom Google) ternyata tidak membuahkan hasil. Sampai tulisan ini aku turunkan, aku masi saja tidak tau apa itu kepanjangan dari huruf A dan J di depan nama beliau.
Sayang sebenarnya, karena seorang komponis yang luar biasa ini, tidak bisa kita kenang dengan nama lengkapnya. Dan terus terang aja, dari ingatanku sendiri, tidak terdapat arti dari kedua huruf di depan namanya tersebut. Mungkin suatu hari nanti aku akan tau.
Nah yang sempat membuatku bingung itu, siapakah penulis syair lagu perjuangan ini? Ada yang bilang itu ciptaan A.J. Sudjasman. Sementara Joshua Igho BG, seorang musisi di Karlita International Hotel Tegal, Jawa Tengah menulis dalam artikelnya di Tribun Kaltim, kalo syair Nyiur Hijau ini ditulis oleh Maladi. Bole jadi kalo melodinya itu ciptaan A.J. Sudjasman dan syairnya ditulis oleh Maladi. Ah biarlah, aku anggap saja begitu.
Yang jelas lagu Nyiur Hijau dan Indonesia Tanah Air Beta adalah lagu yang sangat aku ingat, bahkan ketika aku masi hidup di perantauan. Karena biasanya dinyanyikan dengan suara sopran dan tenor. Aku jadi teringat kembali ke masa kecilku, sewaktu masi tinggal di salah satu daerah di Surabaya bagian utara, dua sampai tiga puluh taon silam. Sewaktu aku masi duduk di bangku salah satu sekolah dasar. Kedua lagu tersebut adalah lagu yang membekas dalam hati dan kunilai sebagai lagu perjuangan yang terindah.
Harus kuakui, sangat sulit untuk menyanyikan lagu Nyiur Hijau ini bagiku, karena aku tidak memiliki suara tenor. Dan demikian juga diakui oleh Joshua Igho yang artikelnya aku baca sebelon aku menorehkan coretanku kemari. Tepatnya dia menulis:
‘Syair lagu Nyiur Hijau ciptaan Maladi tersebut mengingatkan saya sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Melalui lagu tersebut, imajinasi saya diajak berlayar berkeliling ke bumi Indonesia yang indah agung. Pepohonan hijau melambaikan kedamaian. Sawah luas menghamparkan berlaksa-laksa harapan. Dan laut biru menyimpan berjuta-juta kemakmuran.’
Saya sangat kagum dengan pencipta lagunya yang telah menyusun deretan melodi meliuk-liuk indah, memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Syair dengan kedalaman maknanya pun mampu ‘menyihir’ pikiran. Bagi anak-anak seusia saya (waktu itu), yang ada dalam benak hanyalah kebanggaan terhadap negeri Indonesia.’
Ah, aku jadi benar-benar teringat akan indahnya masa kecilku yang dipenuhi dengan berbagai tembang kenangan yang indah dalam benakku, dan juga macam-macam lagu perjuangan. Aku bersyukur masih bisa mendengarkan lagu Nyiur Hijau dalam format paduan suara yang apik sewaktu di jaman almarhum Presiden Soeharto dulu, di acara tujuh belasan.
Tapi masa itu sudah sirna, karena Indo sudah menjadi negara yang dipenuhi dengan ‘Sepasang Rusa’ (Tetty Kadi),‘Kucing Garong’ (Trio Macan) dan 'Kecoa Ngesot' (Saykoji), ‘Sang Pemimpi’ (Gigi) yang ‘Setengah Gila’ (Gombloh), ‘Dokter Cinta’ (Dewi-Dewi) untuk ’Kekasih Gelapku’ (Ungu), ‘Penipu’ (Alexandria) yang ‘Tak Ingin Sendiri’ (Dian Pieshesa) dan semboyan pembangkit semangat ‘Jika Cinta Dia’ (Geisha) maka ‘Jangan Menyerah’ (d’Masiv). Bahkan bila mau ada juga semboyan pematah semangat seperti ‘Hancur-Hancur Hatiku’ (Olga Syahputra) bila ‘Mengenangmu’ (Kerispatih) dan last but not least tentunya skandal ‘Cinta Terlarang’ (The Virgin) dengan ‘Lulu dan Siti’ (Tompi).
Aku berharap banyak orang yang juga punya pengalaman sama dengan aku bisa menuangkan kenanganya terhadap sesuatu yang indah di masa lalu. Dalam bentuk apapun. Dan tentunya akan sangat menyenangkan waktu kita berhasil merangkaikan kembali dalam sesuatu yang nyata.
Ah, biarlah itu kan masa sekarang, aku ingin berwisata sejenak pergi ke masa lalu dengan mengenang lagu luar biasa ini dan juga terkadang dalam lubuk hatiku yang dalam, aku ingin tau apakah ada di antara teman-temanku yang masi ingat lagu ini.
Aku pernah dulu tanya salah satu teman semasa di perantauan, dia itu usianya kira-kira satu dekade lebih muda dariku, dan dia itu walaupun musisi, tapi tidak kenal lagu Nyiur Hijau. Lebih jauh terkanya apa itu lagu yang dinyanyikan dengan lirik ‘nyiur hijau.. yeah..’.. wah.. wah.. wah.. kacau.. kacau.. kacau..
Saking gemarnya aku mendengarkan lagu ini, aku mempunyai dua versi, pertama versi biasa dan yang kedua versi keroncong nya dari Sri Hartati. Ternyata versi keroncong nya enak sekali untuk didengar menjelang tidur. Ya sudahlah aku siap-siap tidur, cepat publish ini dan kembali merangkak ke bawah selimutku karena hari sudah larut malam..
Nyiur hijau di tepi pantai
siar-siur daunnya melambai
Padi mengembang kuning merayu
burung-burung menyanyi gembira
Tanah airku tumpah darahku
Tanah yang subur kaya makmur
Tanah airku tumpah darahku
Tanah yang indah permai nyata