Menjelang akhir pekan ini, aku mulai mengamati kalo awan makin hitam saja tiap menjelang malam hari dan jam mulainya hujan menjadi makin larut. Dari dari info yang kudapat, perubahan itu akan semakin nyata bila mendekati akhir musim banjir. Jadi bilamana musim hujan sudah mendekati akhirnya, kita akan mengamati pergeseran waktu mulai turun hujan hingga ke pagi hari.
Maklumlah di negara ini kan karena banyaknya orang yang suka-suka kalo buang sampah akhirnya membuat semua selokan dan kawan-kawannya jadi tidak bisa berfungsi dengan baek. Akibat nyatanya di negara ini hanya dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan banjir.
Ketika aku mulai menulis ini, masi terdengar di luar sana suara gemuruh dari petir yang bersautan menyertai suara tetes air hujan yang jatuh secara brutal ke atas atap kamarku. Karena tirai dari kamarku aku tutup, maka aku tidak dapat melihat cahaya petirnya yang harusnya datang sebelon suara ribut akibat tumbukan dari kedua awan bermuatan listrik di atas sana.
Ada kalanya orang menggambarkan keadaan hujan itu sebagai sesuatu yang romantis, seperti dalam novel-novel dan banyak sinetron dalam maupun luar negeri.
Contoh yang terkenal sekali adalah komedi musical legendaris ‘Singin’ in the Rain’ garapan Gene Kelly dan Stanley Donen yang menggambarkan kisah kasih antara Don Lockwood (yang diperankan oleh Gene Kelly) dan Kathy Selden (dilakoni oleh Debbie Reynolds).
Di mana di dalam musical tersebut, Gene Kelly menyanyikan tembang ‘Singin’ in the Rain’ sambil menari di bawah hujan buatan yang konon kabarnya dibuat dari air yang sedikit dicampur dengan susu, agar terlihat tetesan airnya sewaktu dilakukan pengambilan gambar. Musical yang terinspirasi oleh musical ‘The Hollywood Revue of 1929’ ini ternyata sudah sejak taon 2007 di ranking kelima dalam daftar Greatest American Films.
Sedemikian populernya musical yang dibuat di taon 1952 tersebut, hingga sutradara endut yang terkenal Alfred Hitchcock pun mengintegrasikannya di dalam movienya
‘North by Northwest’ di taon 1959 dengan Roger O. Thornhill yang diperankan oleh Cary Grant, dimana melodi ‘Singin’ in the Rain’ disiulkan oleh Roger di bawah curahan air hujan.
Dan tentunya demam ‘romantisme di bawah guyuran hujan’ ini tidak hanya melanda movie buatan Hollywood, tapi film buatan Bollywood yang berjudul ‘Om Shanti Om’ yang dirilis di taon 2007 pun dibuat mirip seperti musical terkenal itu. Dan bahkan salah satu dari tembangnya ‘Main Agar Kahoon’ nampak jelas sebagai gubahan dari tembang ‘You Were Meant for Me’ yang terdapat dalam musical taon 1952 tersebut.
Sementara itu, aktor Hongkong terkenal Jackie Chan pun tidak mau kalah dan menunjukkan kepiawaiannya melakukan aksi kungfu nya dengan membawa payung sewaktu dia sedang bertarung dengan musuhnya di bawah guyuran hujan, di dalam film ‘Shanghai Knights’ buatan David Dobkin di taon 2003, dengan iringan melodi ‘Singin’ in the Rain’. Dan itu semua menunjukkan, bahwa musical garapan taon 1952 masi menginspirasi banyak pembuat movie di abad ke 21.
Sedangkan aku sendiri kerap kali, mengenal hujan bukan sebagai sesuatu yang romantis. Sudah sejak dari masa kecilku dulu, bila hujan turun, kekuatiran yang ada dalam benakku hanyalah bahaya banjir. Ya seperti yang pernah kuulas, kotaku ini sebagian besar letak tanahnya berada di bawah air. Karena banyak sekali perumahan yang ada saat ini, itu dulunya didirikan di atas petak yang dulunya adalah ladang atau sawah. Sehingga bahaya banjir selalu mengancam.
Namun kenapa kok malam ini aku malah sebaliknya merasakan kedamaian yang luar biasa? Kata orang, bila hati kita sedang merasakan kedamaian yang luar biasa, kita harus bersyukur dan mengintrospeksi diri.
Untuk itu, aku baru saja, keluar sebentar ke teras rumah. Aku memperhatikan, hujan yang sudah mulai mereda dan tetesan air gerimis yang jatuh membasahi bumi bersuara bagaikan suatu irama musik yang indah di telingaku. Aku bersyukur, malam ini hujan masi tidak menyebabkan banjir yang mengacam jiwa.
Di luar suasananya dingin, lembab dan gelap. Terdengar suara jangkrik mengerik dan terlihat kelelawar yang walaupun gerimis, namun masi juga terbang dari satu ranting ke ranting yang laen di antara pepohonan yang besar. Suara angin memburu masi terdengar, namun intensitasnya kurasa mulai berkurang banyak.
Dalam hati, aku pun berdoa dan bersyukur. Berterimakasi, masi ada tempat untuk berteduh, dari dinginnya tiupan angin dan tetesan air hujan. Bersyukur kalo malam ini aku tidak sakit dan tidak tergeletak di atas ranjang. Aku mengucap pujian dalam hati karena mataku masi bisa melihat semua kejadian malam ini dan semua telingaku masi dapat menangkap segala bunyi-bunyian yang ada saat itu. Aku merenung dan merenung sambil berdoa syukur dalam hati.
Pikiranku kembali kepada kejadian beberapa taon silam, di dalam sebuah pesawat terbang yang sedang melintasi kepulauan India. Aku teringat akan seorang wanita Australia yang duduk di sebelah kiriku di pesawat Malaysia Airlines tersebut.
Waktu dia membuka window shade nya di samping kirinya, rupanya dia segera menyadari bahwa di bawah kita sedang terjadi cuaca buruk. Karena daerah India kan memang terkenal dengan cuaca buruk dan kegalakan petirnya.
Namun karena pesawat kami berada di atas awan, maka kami tidak merasakan dampak dari cuaca buruk tersebut secara langsung. Hanya permainan cahaya kilat lah yang nampak dari atas.
Namun ketika kutanya, apakah cahaya kilat itu indah dimatanya, dia malahan menegurku dan mengaku padaku kalo dia takut. Dan untuk menghilangkan rasa takutnya itu, dia malahan mengajakku mengobrol tentang apa saja, dan aku tau, kalo itu maksudnya agar dia tidak tergoda untuk melihat lagi ke luar jendela.
Karena untuk berbicara dan memandang mukanya aku harus menoleh ke kiri, maka aku dapat melihat melihat cahaya kilat di luar sana dengan jelas. Tanpa suara tentunya, karena di dalam ‘fuselage’ pesawat terbang itu hanya bising dari mesin jet yang menderu yang terdengar, yang semakin lama semakin diabaikan oleh panca indera kita.
Kenangan berada di atas awan sewaktu cuaca buruk itu membuatku mengenang kembali dan membandingkannya dengan suasana di bawah awan sewaktu hujan petir.
Bila kita berada di atas awan, yang kita liat adalah permainan yang indah dari kilat. Dan bila kita berada di bawahnya, bisa jadi kita akan dikejutkan oleh suara gemuruh dari petir itu. Bahkan kilat nya sendiri karena terdiri dari strom dengan arus yang sangat tinggi, dapat membawa bahaya bagi kita bila kita tidak berada di tempat terlindung.
Dan tentunya lebih berbahaya lagi untuk berada tepat di tengah-tengah awan sewaktu badai begitu. Sudah banyak pesawat yang secara tidak suka rela dibawa turun ke bumi dalam keadaan tidak utuh lagi. Terutama bila mereka terjebak secara tiba-tiba di dalam amukan angin ribut itu.
Namun malam ini, aku berada di bawah awan. Tenang suasana malam ini. Sangat tenang. Aku teringat kembali ada pedoman dari bahasa Jerman yang berbunyi ‘in der Ruhe liegt die Kraft’ atau diterjemahkan, ‘di dalam ketenangan terdapat kekuatan’. Ya mungkin setelah hatiku ini tenang, nanti aku akan mendapat kekuatan kembali untuk menjadi papa bear..
Sebelon masuk kembali ke kamarku, aku mengarahkan mataku untuk kembali memandang ke atas dan melihat ke langit yang berawan sambil bernyanyi dalam hati ‘I'm laughing at clouds. So dark up above. The sun's in my heart. And I'm ready for love’
I'm singing in the rain
Just singing in the rain
What a glorious feelin'
I'm happy again
I'm laughing at clouds
So dark up above
The sun's in my heart
And I'm ready for love
Let the stormy clouds chase
Everyone from the place
Come on with the rain
I've a smile on my face
I walk down the lane
With a happy refrain
Just singin',
Singin' in the rain
Dancin' in the rain
Dee-ah dee-ah dee-ah
Dee-ah dee-ah dee-ah
I'm happy again!
I'm singin' and dancin' in the rain!
I'm dancin' and singin' in the rain...
Why am I smiling
And why do I sing?
Why does September
Seem sunny as spring?
Why do I get up
Each morning and start?
Happy and head up
With joy in my heart
Why is each new task
A trifle to do?
Because I am living
A life full of you.