Saturday, March 20, 2010

Makan di Resto

Aku ini sejak puluhan taon hidupnya hanya seorang diri aja, maka tidak praktis bagiku untuk memasak makanan. Karena proses memasak makanan itu kan terdiri atas beberapa proses, belanja misalnya pasti akan menghabiskan waktu beberapa jam sendiri, demikian juga dengan proses mempersiapkan bahan makanan yang akan dimasak.

Dan semuanya hanya dinikmati dalam waktu beberapa menit saja, dan disusul dengan acara cuci piring dan semua alat dapur selama beberapa puluh menit. Bayangkan berapa puluh jam dalam seminggu yang kita habiskan hanya untuk persiapannya dan acara memasaknya.Oleh karenanya, kan rugi bila kita memasak hanya untuk satu porsi. Maka biasanya orang memasak itu untuk beberapa porsi.

Nah apa yang terjadi bila masakan yang bejibun banyaknya itu tersisa? Tentunya disimpan di dalam kulkas dan berdoa sambil nungging-nungging supaya PLN tidak usil. Besoknya dapat dimakan lagi bila tidak berjamur dan dapat dipanaskan di dalam microwave. Kalo tidak habis, ya tentu saja untuk lusa semoga masi bisa dimakan, bila tidak keluar belatungnya.

Namun setelah semuanya habis disantap dalam beberapa hari ke depan, biasanya kita kalo tidak mencret karena sakit perut, ya pasti kita sudah tidak ingin makan masakan seperti itu lagi untuk beberapa bulan ke depan karena bosan dan bahkan melihatnyapun mungkin sudah jijik.

Aku beruntung dapat tinggal di dekat dengan sebuah plasa kecil di mana di dalamnya tidak hanya terdapat supermarket, namun juga café dan foodcourt dengan berbagai jenis pilihan makanan. Oleh karena itu, aku sering kali memilih untuk membeli makananku atau paling tidak lauk pauknya di luar. Jadi aku hanya perlu menanak nasi dalam raiskuker ku.

Dan bila aku ada tamu, atau lagi malas cuci piring, aku cukup nongkrong aja di foodcourt di sana. Dan tentunya harus milih jam di luar jam makan, kalo tidak mau nunggu terlalu lama akibat banyaknya pengunjung yang lapar.

Nah karena terbiasa makan di luar rumah, maka bisa dipastikan kalo aku juga beberapa kali sakit perut akibat masakan yang dipersiapkan dengan tidak higienis. Belon lagi kalo buat test darah, wah pasti aja deh ada yang kelebihan, seperti kadar lemak dalam darah dan kolesterol.

Wah bicara masalah makan di resto, aku jadi ingat pada kisah konyol lama yang kira-kira ceritanya itu begini:

Suatu hari, aku pergi makan malam bersama beberapa teman kantor di sebuah restoran yang kabarnya cukup laris dan untuk makan disana tidak perlu bayar tunai, alias bole nge-bon dulu beberapa hari dengan bayar pake plastik dan tanda tangan.

Sesaat memesan makanan, aku perhatikan pelayan yang melayani kami membawa sepasang sendok di saku celana belakangnya. Sedikit aneh, tapi pada awalnya aku tidak begitu peduli.

Namun, saat pesanan kami mulai diantar, aku juga melihat pelayan lain membawa sepasang sendok disaku bajunya. Lama-lama aku jadi tertarik untuk memperhatikan keadaan sekelilingku dan ternyata memang benar dugaanku, semua pelayan restoran tersebut membawa sepasang sendok di saku baju atau celana masing-masing.

Rasa ingin tauku pun membuatku jadi ingin bertanya. "Mas kenapa semua pelayan di sini membawa sepasang sendok di sakunya?" tanya ku kepada pelayan datang membawa pesanan kami

"Oh begini Pak," jawab si pelayan, "pemilik restoran ini ingin agar semua pelayannya bekerja secara efisiens, guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan service di restoran ini. Sehingga semua pelanggan nantinya puas karena mendapatkan pelayanan yang cepat dan akurat. Dan dari pengamatan boss kami, banyak pelanggan restoran ini meminta sendok makan extra. Jadi beliau minta setiap pelayan di sini mengantisipasinya dengan membawa sendok dalam sakunya’.

Saking kagumnya dengan penjelasan si pelayan, tanpa sengaja aku menyenggol salah satu sendok yang ada di meja. Segera saja si pelayan mengambil gantinya dari saku baju sambil berujar, "Betul kan Pak, saya tidak harus pergi ke dapur sekarang untuk mengambil sendok pengganti untuk Bapak!"

Aku hanya bisa melongo dengan kejadian itu.

Tapi, kisahnya belum berakhir di situ. Ketika pelayan lain datang menghidangkan pesanan tambahan, aku tetap memperhatikan satu lagi hal tampak aneh. Aku perhatikan hampir semua pelayan pria memasang tali rafia yang menyembul diujung retsluiting celana mereka.

Tali itu diikaitkan ke ujung kancing terbawah dari baju. Lagi lagi rasa ingin tahu mengusik ku. Sebab, ternyata pelayan perempuan tak memakai aksesoris tali tersebut. Ketika si pelayan tadi datang, aku menanyakan masalah tali itu.

Sang pelayanpun tersenyum kecil. “Ini juga rekomendasi boss kami, Pak," katanya melanjutkan, "boss minta kami menghemat waktu yang kami habiskan di kamar kecil ketika buang air kecil. Dan dengan tali yang dikaitkan ke si "adek" ini, kami tidak harus menggunakan tangan ketika mengeluarkannya, sehingga tidak perlu cuci tangan”, katanya sambil menunjuk tali Itu.

Hampir tersedak saya mendengarkan penjelasan itu. Aha, jadi karena keberadaan tali itu tangan jadi terbebas untuk memegang si "adik" dan tidak perlu cuci tangan.

“Tapi, bagaimana caranya untuk memasukkannya kembali?", tanya ku menyelidik.

Dengan setengah berbisik si pelayan berucap, "Nggak tahu dengan yang lain ya, Pak. Tapi, kalau saya sih pakai sendok yang ada disaku ini."