Woah! Bila aku beberapa waktu lalu menulis kalo aku sedang berlayar, walau hanya fiktif belaka, namun aku jadi teringat malam ini pada tembang ‘Aku Ada’ dari penyanyi yang sekaligus penulis novel, Dewi Lestari yang dinyanyikannya bareng dengan Arina Ephipania Simangunsong dari grup band Mocca.
Tembang ini menjadi menarik, karena pengaruh dari Arina juga yang memang terkenal sebagai pengusung tembang bercorak swing, bosa nova, pop dan sedikit jazz. Dara lulusan ITB ini bersama Mocca band nya juga telah terkenal di dunia internasional, sampai-sampai sebuah serian Korea ‘Bandhobi’ telah menggunakan salah satu tembang ciptaannya menjadi soundtrack mereka.
Perpaduan musik yang yahut ini sangat didukung dengan pemilihan penulisan lirik yang bagus ala Dewi Lestari, yang lebih dikenal sebagai sang penulis serian Supernova (Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), Akar (2002), dan Petir (2005)) dan telah menerbitkan novel terakhirnya taon 2009 yang lalu dengan judul ‘Perahu Kertas’.
Dalam tembang nya itu Dewi Lestari yang pandai merangkai kata-katanya, melukiskan tentang kehampaan hatinya, yang telah ditinggalkan oleh orang yang dicintai nya. Di lirik nya dia menggambarkan, kalo dia sering terbayang kalo mantannya itu yang hobi nya berjalan-jalan di pantai itu, telah pergi darinya dan meninggalkan rasa pilu yang amat sangat dalam di hatinya, yang ternyata masih mengharapkannya.
Sementara itu, bagiku pribadi tembang ini menggugah rasa sentimentil sedikit, mengingat salah satu foto pertama yang kulihat dari gadis (yang kemudian kusuka namun kini telah pergi dariku) itu adalah foto sewaktu dia di Mataram. Fotonya ini ku unduh dari friendster nya, di kala aku belon bertemu face-to-face dengan nya.
Di foto nya itu dia tampak sedang berdiri di dekat batas dua dunia, air dan daratan. Sambil memandang matahari senja yang akan terbenam (membelakangi sang fotografer). Terlihat sinar matahari yang berpendar indah kuning jingga di kejauhan dan akan segera menghilang di balik bukit nun jauh di seberang sana.
Di kejauhan ada seorang nelayan duduk di atas perahu nya sambil sibuk membenahi jaringnya. Bagiku itu adalah gambaran yang indah sekali dari alam ini. Dan dari foto itu kutahu bahwa ternyata dia juga punya kecintaan yang sama denganku, yaitu pada air, walaupun aku tak bisa berenang.
Sesaat kubayangkan bila aku ada disana waktu itu, dan melihatnya di senja itu. Sesaat tanpa aku ada disisinya. Pasti aku akan melangkah di atas pasir pantai itu tuk mendatanginya. Aku akan memanggil namanya, dan saat dia menoleh padaku, aku akan memeluknya dari belakang, membisikkan kata sayangku ke telinganya sambil mencium lembut pipi kanannya.
Disaksikan ombak yang berderu, aku akan berjanji padanya tuk menjaga nya selama aku masi bisa dan punya kesempatan untuk itu.
Namun aku tergugah dari lamunanku, dan kembali kupandang fotonya itu dan lanjut bersenandung dengan rasa pedih yang malam ini kembali terasa di hati ‘Memandangimu saat senja. Berjalan di batas dua dunia. Tiada yang lebih indah. Tiada yang lebih rindu. Selain hatiku. Andai engkau tahu’.
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku
Selain hatiku dan ombak berderu
Di pantai ini kau selalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu
Akulah lautan kemana kau selalu pulang
Jingga di bahuku
Malam di depanku
Dan bulan siaga
Sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Kuingin ku tahu engkau ada
Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku andai engkau tahu
Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi
Akulah lautan memeluk pantaimu erat
Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga
Sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada