Cerita dari pastor Anthony de Mello yang judulnya ‘Salt and Cotton in the River’ ini kudengar pertama kalinya waktu aku masi SMP. Ya kira-kira bersamaan dengan terbitnya buku ‘Burung Berkicau’ nya si pastor yang sekarang sudah almarhum.
Menarik juga sih, bila kita telah belajar di tingkat SD dulu, kalo garam mencair di dalam air. Aku dulu waktu masi duduk di bangku SD terkagum-kagum sama yang namanya ilmu alam, atau IPA, Ilmu Pengetauan Alam yang mulai diajarkan di kelas empat SD.
Balik ke topik semula, ini kutipan dari cerita singkatnya:
Nasruddin was taking a load of salt to the market. His donkey waded through the river
and the salt dissolved. When it reached the opposite bank the animal ran around in
circles, overjoyed that its load had been lightened. But Nasruddin was annoyed.
On the next market day he packed the panniers with cotton. The ass nearly drowned
with the increased weight of the cotton soaked in the river water.
‘There I’ said Nasruddin gleefully. ‘That will teach you to think that each time you
go through water you stand to gain I’
Two persons walked into religion. One came alive, the other drowned.
Seperti biasa, bila kita baca cerita itu pasti tersenyum, namun kembali heran, bila membaca apa yang ditulisnya dibaris terakhir. Tentunya hal ini membuat kita kembali berpikir, apa maksud yang tersembunyinya?
Singkat saja, dalam ceita itu digambarkan bahwa air adalah ‘agama’. Agama? Gimana mungkin, apa yang mau diceritakan oleh si pastor?
Mudah saja, air itu sebenarnya adalah ajaran agama. Dan ajaran agama atau mungkin aku lebih suka mengatakannya sebagai ’tempaan agama’ adalah sesuatu yang sebenarnya sudah ada. Ada di sini dalam artian tidak diciptakan.
Bila kita menjalani tempaan agama ini seperti halnya garam, maka segala pikiran dan batin kita bisa larut ke dalamnya dengan mudah, dan ikutan mengalir bersama dengan aliran itu sendiri. Tak ada bahaya bagi kita sama sekali. Dan itu digambarkan dengan keledai yang menjadi ringan setelah melewati tempaan agama.
Namun, kita bisa saja bersikukuh mau berusaha menyerap segala ajaran agama itu. Seperti hal nya yang dilakukan oleh katun. Karena saking banyaknya dia menyerap ajaran agama itu, maka dia menjadi terbebani.
What? Pastilah orang berseru demikian membaca tulisanku ini. Tentu aku tulis di sini dengan maksud agar pembacaku mau memikir sendiri apa yang kumaksud.
Padahal mudah saja, bila kita mendapatkan ajaran agama dan kita bertindak fanatik terhadap ajaran itu, maka bisa dikata kita tidak mau larut ke dalam nya, atau bahkan mungkin berusaha untuk hidup sesuai dengan segala ajaran itu, baek yang benar maupun yang salah.
Akibatnya? Akibatnya jelas, seperti katun, kita akan mendapatkan beban dan bahkan tenggelam dalam ajaran agama itu sendiri, menjadi teroris atas nama agama, menjadi orang yang sombong atas nama agama dan laen-laen.
Mari kita bertindak yang tidak bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut, namun juga jangan terlalu memaksakan segalanya. Biar semuanya itu kita serap dan kita larut di dalamnya secara alami.
Aku jadi teringat pada kitab Matius pasal ke 7 dan ayat ke 12 yang berbunyi:
‘Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’
Atau surat Paulus kepada Jemaat di Roma pasal ke 3 dan ayat ke 20 yang berbunyi:
‘Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.eka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’