Friday, April 16, 2010

Not Delicious

Udah lama nih badanku ‘not delicious’ alias lagi kena sakit demam. Bukan hanya demam, entah kenapa kok gusiku bisa bengkak dan itu buat nyeri di gigi. Tapi untunglah, ada ponstan yang tersedia.

Tapi yang jelas aku tidak bisa tidur nyenyak karena selalu aja ada yang ribut di tempatku. Cerita singkat nya itu, karena kurang tidur, jadi kena gejala flu yang disertai dengan demam dan sakit kepala.

Tapi ada faedahnya juga, dengan badan ku yang ‘not delicious’ ini, aku gunakan untuk penunjang diet. Hehehe, kok bisa? Ya tentu donk, kan sakit gigi juga, akhirnya nafsu makan berkurang banyak, dan syukurlah bisa turun 1 kilo lagi, walau tidak banyak tapi semangat masi harus dibesarin biar bisa drop 1 kilo lagi, lalu minggu depan 1 kilo lagi dan seterusnya sampai kempes.

Masalah yang terbesar biasanya itu stress. Banyak orang diet itu gagal, karena mereka stress memikirkan nya. Alhasil bila kita dalam kondisi stres, tubuh kita akan memproduksi hormon kortisol, yang akan memicu penimbunan lemak di perut. Jadi stress harus dikendalikan untuk mencapai diet yang diinginkan.

Biasanya itu begini, bila tubuh kita menduga adanya ancaman bahaya, maka tubuh dan pikiran kita punya respons melawan atau ikut terseret. Respons nya itu misalnya saraf simpatetik dalam otak kita akan mengirim hormon adrenalin, hormon kortisol, dan hormon-hormon stres lainnya. Masalahnya, bila kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka hormon-hormon tadi bisa mengganggu kemampuan mengingat dan belajar sehingga kita rentan depresi.

Lanjutan dari keadaan ‘quasi depresi’ itu adalah dengan timbulnya nafsu makan yang besar. Terutama karbohidrat yang nantinya akan dikonsumsi oleh yang diet tanpa disadari. Orang yang memiliki keinginan mengonsumsi lebih banyak karbohidrat juga menurut riset merasa lebih nyaman, stresnya berkurang, dan bisa tidur lebih nyenyak setelah mengunyah makanan mengandung gula.

‘Mood’ (baca: suasana hati) kita memang jadi membaik 20 menit setelah melahap karbohidrat. Dan ini dikarenakan saat makan karbohidrat, tubuh kita melepaskan hormon serotonin (hormon senang) lebih banyak. Begitu menurut penelitian nya.

Masalahnya, ‘mood’ tadi tidak akan bertahan lama. Akibatnya kita akan merasa butuh karbohidrat lagi, begitu seterusnya hingga kita tak menyadari tubuh kita sudah tergolong
obesitas binti tambun. Usaha membakar kalori dengan berolahraga lebih keras atau makan sedikit pada waktu makan, biasanya tidak membantu banyak bila tidak diikuti dengan keinginan kuat untuk mengurangi asupan karbohidrat.

Hal ini menjadi menarik, karena kan sampai pertengahan taon 90an di abad lalu, banyak pakar gizi beranggapan bahwa diet akan jadi sukses bila asupan lemak nya dikurangi. Namun dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan apa yang disebut dengan ‘efek yoyo’. Efek yoyo ini ada efek dari orang yang mengikuti program diet, yaitu peserta menjadi kurus untuk beberapa saat dan kemudian akan menggendut kembali. Demikian tiada akhirnya sampai pada akhirnya ditemukan penyebab dari efek yoyo tersebut seperti yang kuungkap di atas ini.

Berdasarkan hasil survey tersebut, maka kini para ahli gizi menganjurkan untuk mengurangi asupan dari karbohidrat dan bukan lemak. Mengingat bila kadar lemak dalam tubuh berkurang banyak, sedangkan tubuh dalam keadaan membutuhkan lemak untuk diolah menjadi tenaga misalnya, maka otot lah yang akan dipergunakan oleh tubuh. Karena kita ingat apa yang dikatakan oleh kata Arnold Schwarzenegger dalam salah satu movie nya, ‘astalavista baby, kita buat dari lemat jadi otot’.