Yoi, dalam dua bulan terakhi ini, aku dapat suguhan tayangan di televisi yang lebih bagus dari sinetron bodong seperti yang setiap sore dan malam banyak ditonton orang-orang nganggur sebagai pelepas lelah.
Tentunya kita tau, siaran apa itu, ya kita menyaksikan sinetron dari parlemen kita yang penuh dengan aneka humor dari yang beretika sampai yang terkesan kasar dan kurang ajar. Namun dari semua itu, kuharaplah kalo bangsa ini terutama para wakilnya yang duduk di parlemen telah banyak belajar untuk beretika dan berpolitik dengan benar.
Nah ya, negara tempatku tinggal saat ini kan ngakunya menganut paham yang dicetuskan oleh orang Yunani enam belas abad yang lalu. Namun dalam pelaksanaannya rada-rada gimana gitu.
Kan sebetolnya negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis itu harusnya berbentuk parlementaris dan bukan presidensiil. Karena kata ‘demos’ berarti rakyat, dan ‘kratos/cratein’ berarti pemerintahan. Atau bila digabung dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan bukan oleh satu orang saja. Namun di negeri ini kendali sepertinya bukan ada di tangan rakyat (legislatif), namun ada di tangan eksekutif nya. Ya, tidak heran bila enam dekade yang lalu keluar istilah ‘demokrasi terpimpin’ karena pengertian demokrasi di negara ini rada berbeda.
Yang terkadang membuat aku jadi heran itu, kok ada ya wakil rakyat kalo berpolitik sampai menimbulkan kesan dia membenci orang tertentu? Aku jadi ingat pendapat mantan kansler nya Jerman yang endut, Helmut Kohl yang selalu mengatakan dia punya lawan politik (politische Gegner) namun dia tak punya musuh (Feinde). Hmm.. mustinya politisi di sini juga banyak belajar tentang hal yang satu itu, jadi tidak terjadi kasus saling membenci yang mungkin suatu hari nanti akan berakhir dengan kelakuan kriminal.
Dalam pengertian demokrasi, mustinya kita kenal adanya suatu partai koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi. Karena demokrasi yang baek selalu membutuhkan apa yang disebut dengan ‘checks and balances’ dan itu hanya bisa digaransi dari adanya pihak oposisi yang kuat juga.
Namun hal tersebut juga tidak akan pernah terwujud bila pemerintahan selalu ingin merangkul semua partai yang ada, hanya karena sang pemimpin takut adu argumentasi dengan pihak oposisi dan akhirnya malahan akan dapat (namun tidak harus) menciptakan suatu pemerintahan yang otoriter atau malahan dapat membuat suatu kebijakan yang merugikan rakyat secara keseluruhan. Dan oleh karena itu, aku sendiri selalu akan menggunakan hak konstitusi ku dengan memberikan suaraku untuk partai yang kurasa akan jadi partai oposisi.
Nah ya, pemikiranku simple aja dalam hal ini. Coba bayangkan, bagaimana pemerintah mau menentukan jalan yang benar bila semua orang hanya mem-beo apa yang dikatakan pimpinannya dengan perasaan ketakutan akan dijatuhkan/dikucilkan/ditendang dari lingkup sang pemimpin?
Namun dengan adanya drama parlemen akhir-akhir ini, kurasa negara ini sudah berada di jalur demokrasi yang benar. Karena hak untuk mengemukakan pendapat tanpa takut kan dimiliki semua orang.
Dan akan lebih bagus lagi bila kita sadar bahwa perbedaan pendapat malahan akan memperkaya wawasan kita dan memberikan kontrol yang tepat untuk suatu kebijakan yang akan diambil. Maka kuharap ke depannya tidak ada lagi rasa takut di kebiri yang dipunyai seorang wakil rakyat untuk mengutarakan apa yang ada di hati nurani nya.
Bilamana ditemukan perbedaan pendapat, baek itu di antara partai koalisi maupun di antara semua partai, maka mustinya disiasati dengan keberadaan ‘professional lobbyists’ seperti yang ada di banyak negara yang demokrasi nya sudah berfungsi dengan baek. Dan bukan melibatkan staf tertentu (yang secara de-facto digaji oleh pajak) untuk bergerilya memperjuangkan jalur sang pemimpin seperti yang akhir-akhir ini aku amati.
Namun negara ini belon mengenal keberadaan para pe-lobi yang netral di lingkungan parlemen. Ya kuharap semoga aja akan terwujud bila semua politisi sadar akan pentingnya pe-lobi yang netral yang mungkin bisa lebih memperdekat perbedaaan di antara pandangan-pandangan yang ada dan keberadaan pe-lobi profesional itu bahkan bisa menghemat waktu yang dipunyai oleh para anggota legislatif dalam berkonsultasi.
Lebih menariknya lagi, banyak orang yang berpendapat bahwa ide demokrasi dapat di terapkan dalam semua bidang. Namun sebenarnya demokrasi tidak dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam bidang ekonomi, bila kita mengkaji apa yang ditelaah oleh ahli ekonomi Amerika ‘Milton Friedman’ yang baru meninggal tiga taon silam di usia nya yang ke 94 taon.
Tentunya Milton Friedman ini bukan sembarang orang, karena Profesor dari Chicago School of Economics pada University of Chicago ini adalah penasehat bidang ekonomi dari mantan Presiden Ronald Reagan, dan pemenang ‘Nobel Memoriam Prize in Economics 1976’ yang mendapatkan julukan ‘The most influential economist of the second half of the 20th century…possibly of all of it’ dari Economist Magazine seminggu setelah dia meninggal pada tanggal 16 November 2006.
Banyak kali orang bertanya, apakah dari suatu praktek demokrasi itu suatu kebenaran akan terungkap? Jawabnya dengan tegas dalam hal ini adalah ‘tidak’. Karena menurut paham demokrasi ini siapa yang mendapatkan suara terbanyak akan ‘menang’.
Jadi dalam sistem demokrasi bukan keputusan ‘benar’ atau ‘salah’ yang ada, namun ’menang’ atau ‘kalah’. Yang paling ‘banyak mendapatkan suara’ itulah yang menjadi acuan ’kebenaran’.
Nah sekarang bagaimana kalau yang ‘banyak’ itu adalah sesuatu ‘hal yang buruk’? Pasti suatu negara bisa hancur. Dan itulah konsekuensi dari pemilihan paham demokrasi yang harus kita pikul bila kita ngotot ingin sistem demokrasi.
Demokrasi sangat memungkinkan dibuatnya suatu tindakan yang buruk dengan segala cara untuk mendapatkan kemenangan, karena hanya dinilai dari siapa yang paling banyak setuju. Maka dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi dapat (namun tidak harus) men-trigger kecurangan dan bahkan tindakan korupsi. Jadi korupsi dan demokrasi ini seperti adek kakak saja.
Bahkan bilamana sistem demokrasi tidak diterapkan dengan benar, seperti yang aku amati dalam sejarah negeri ini, maka bukan hanya kesejahteraan masyarakat saja yang dapat dikorbankan, namun juga hak asasi manusia dapat diinjak-injak. Dan tentunya hal ini sangat menarik bagiku pribadi yang sudah lebih dari satu dekade berjuang untuk ditegakkannya hak asasi manusia bersama salah satu organisasi internasional hak asasi manusia.
Aku jadi teringat mengapa mantan presiden Soekarno tidak pernah setuju kalo negara ini mengambil asas demokrasi dan ingin mengubahnya menjadi sosialis. Karena menurutnya, ‘Demokrasi’ itu berasal dari kata ‘Demok’ dan ‘Krasi’ yang berarti " Sing gede di mok-mok, sing cilik di krasi " atau "yang besar di pegang-pegang yang kecil diinjak-injak". Jadi ‘Demokrasi’ menurut Soekarno itu tidak mementingkan rakyat secara keseluruhan, tetapi hanya rakyat yang besar saja yang diperhatikan, oleh karena itu Soekarno tidak setuju.
Sambil menulis ini aku mendengarkan lantunan vokal dari Virgiawan Listanto (atau lebih dikenal dengan nama panggung ‘Iwan Fals’) yang terkenal sebagai penyanyi yang idealis dan bahkan pernah diperiksa oleh ‘yang berwajib’ karena diduga mengkritik pemerintah dua dekade silam.
Bila orang dengar nama ‘Iwan Fals’, mungkin orang akan langsung teringat pada balada ‘Mata Indah Bola Pingpong’ atau pada tembang ‘Kemesraan’ yang diciptakan oleh Franky dan Johny Sahilatua pada taon 1988 dan dilantunkan Iwan Fals bersama bersama 7 artis dari Musica Studio: Betharia Sonata, Rafika Duri, Chrisye, Itang Yunasz, Etrie Jayanthie, Jamal Mirdad , dan Nani Sugianto.
Namun sebetolnya gaya bermusik Iwan Fals itu dulunya beraliran keras, garang dan liar. Dan hanya melunak dari syair nya setelah anaknya ‘Galang Rambu Anarki’ meninggal secara mendadak pada taon 1997 di usianya yang ke 18 taon. Maka tidak heran bila tembang ‘Kemesraan’ itu bukan ciptaannya.
Bahkan setelah ditinggal pergi oleh putra pertamanya itu, Iwan Fals ini berubah dalam penampilannya. Kini dia berpenampilan rapi dan bersahaja, tanpa jenggot dan rambutnya dipangkas rapi. Sungguh berbeda dengan Iwan yang dulu, yang berkaos oblong atau malahan tanpa baju bila manggung, jenggot dan rambut yang tak terawat dan berkumis tebal.
Ada beberapa tembang nya yang menarik yang sedang kudengar sewaktu mengetik tulisan ini, yaitu Surat Untuk Wakil Rakyat (1987), Bongkar (1989) dan Manusia Setengah Dewa (2004).
Namun karena akibat ricuh di parlemen akhir-akhir ini selalu diberi latar belakang musik ‘Surat Untuk Wakil Rakyat’ maka aku lampirkan saja lirik dari tembang ini yang terasa mengena sebagai sindirian untuk praktek demokrasi yang ada di negeri ini. Heran aja, kok tembang yang diterbitkan dalam satu album dengan tembang ‘Mata Indah Bola Pingpong’ ini dulunya tidak di sensor oleh ‘yang berwajib’, hehehe..
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari sabang sampai merauke
Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha......
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"